cari

Jumat, 05 Mei 2017

Penegakan Hukum dalam Perspektif Sosiologi Hukum




Menurut Satjipto Rahadjo berakhirnya pembuatan hukum, proses hukum baru menyelesaikan satu tahap saja dari suatu perjalanan panjang untuk mengatur masyarakat. Tahap pembuatan hukum masih harus disusul oleh pelaksanaannya secara konkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Inilah yang dimaksud dengan penegakan hukum.
Sebagai sarana social engineering, hukum merupakan suatu sarana yang ditujukan untuk mengubah perikelakuan masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi saat ini adalah apa yang dinamakan oleh Gunnar Myrdal sebagai softdevelopment, dimana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan ternyata tidak efektif. Gejala-gejala semacam itu akan timbul, apabila ada faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan. Faktor-faktor tersebut dapat berasal dari pembentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan, maupun golongan lain di dalam masyarakat. Faktor-faktor itulah yang harus diidentifikasikan, karena merupakan suatu kelemahan yang terjadi kalau hanya tujuan-tujuan yang dirumuskan, tanpa mempertimbangkan sarana-sarana untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Jika hukum merupakan sarana yang dipilih untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut, maka prosesnya tidak hanya berhenti pada pemilihan hukum sebagai sarana saja. Kecuali pengetahuan yang mantap tentang sifat hakikat hukum, juga perlu diketahui adalah batas-batas di dalam penggunaan hukum sebagai sarana untuk mengubah ataupun mengatur perikelakuan warga masyarakat. Sebab, sarana yang ada membatasi pencapaian tujuan, sedangkan tujuan menentukan sarana-sarana apakah tepat untuk dipergunakan.
Dalam proses perubahan perikelakuan melalui kaidah-kaidah hukum adalah konsepsi-konsepsi tentang kaidah, peranan (role), dan sarana-sarana maupun cara-cara untuk mengusahakan adanya konformitas (penyesuaian). Yang dimaksudkan dengan peranan adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan-patokan perikelakuan pada kedudukan-kedudukan tertentu di dalam masyarakat, kedudukan mana dapat dipunyai pribadi atau kelompok-kelompok. Pribadi yang mempunyai peranan tadi dinamakan pemegang peranan (role occupant) dan perikelakuannya adalah berperannya pemegang peranan tadi, dapat sesuai atau mungkin berlawanan dengan apa yang ditentukan di dalam kaidah-kaidah. Pemegang peranan adalah subjek hukum, sedangkan peranan merupakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan hukum.
Suatu aturan perundang-undangan tidak begitu efektif di dalam mengubah pola perilaku warga masyarakat. Mungkin masalahnya terletak pada peraturan perundang-undangannya sendiri yang terlalu rumit dan abstrak untuk diterapkan, atau mungkin pada para aparat penegak hukum, atau warga masyarakat yang belum memiliki kesadaran yang tinggi untuk mentaati peraturan, atau mungkin pada fasilitas pendukungnya. Hal ini tentu menjadi kelemahan dalam proses penegakan hukum. oleh karena itu, membentuk hukum yang efektif memang memerlukan waktu yang lama. Hal itu disebabkan, antara lain karena daya cakupnya yang sedemikian luas, lagi pula hukum itu harus menjangkau jauh ke masyarakat, sehingga memerlukan pendekatan yang multi-disipliner. Suatu hukum perlu dicoba terlebih dahulu, karena justru melalui percobaan tadi akan dapat diketahui kelemahan-kelemahan dan batas jangkauannya di dalam mengubah atau mengatur pola perilaku masyarakat.
Taatnya anggota-anggota masyarakat kepada hukum dapat disebabkan oleh dua faktor yang dominan, yaitu sebagai berikut.
1.               Bahwa tujuan hukum identik dengan tujuan atau aspirasi anggota-anggota masyarakat itu atau dengan kata lain taatnya anggota-anggota masyarakat pada hukum adalah karena terdapatnya perasaan keadilan dan kebenaran dalam hukum itu sendiri.
2.             Karena adanya kekuasaan yang imperatif melekat dalam hukum tersebut dengan sanksi apabila ada orang yang berani melanggarnya ia akan memperoleh akibat-akibat hukum yang tidak diinginkan.
Tidak semua aturan hukum yang dibuat oleh lembaga yang berwenang dapat dijalankan secara efektif dan ditaati oleh anggota-anggota masyarakat. Contoh yang sering kita jumpai adalah pelanggaran lalu lintas dalam hal peraturan mengenai penggunaan helm saat berkendara. Berikut ini pendapat dari masyarakat yang mematuhi dan tidak mematuhi peraturan mengenai penggunaan helm saat berkendara.
1.              Terhadap pengendara yang memakai helm saat berkendara, menyatakan mulai tertib memakai helm sejak bisa mengendarai motor dan mempunyai kesadaran untuk selalu menggunakan helm ketika bepergian meskipun tidak ada polisi yang menjaga di sepanjang jalan. Umumnya mereka mengetahui aturan penggunaan helm saat berkendara, dari mulut ke mulut, tetapi belum terlalu jelas tentang sanksi yang diberikan. Mereka juga setuju dengan aturan tersebut karena dinilai baik untuk menjaga keselamatan jiwa.
2.       Terhadap pengendara yang tidak memakai helm saat berkendara, mereka menyatakan mengetahui peraturan tentang penggunaan helm bagi pengendara motor. Mereka memang sengaja tidak menggunakan helm karena bepergian dekat dan di sepanjang jalan tidak terlihat ada polisi yang berjaga. Mereka juga mengetahui sanksi terhadap pelanggaran yang mereka lakukan. Mereka juga setuju terhadap adanya peraturan tersebut karena dinilai penting bagi keselamatan pengendara. Pengendara ini mengaku hanya menggunakan helm saat bepergian jauh dan jika ada aparat penegak hukum yang mengawasi.
Dari penjelasan di atas suatu perundang-undangan lalu lintas khususnya tentang penggunaan helm bagi pengendara motor tidak begitu efektif penegakannya di dalam masyarakat. Ada masalah yang timbul dari proses penegakan aturan ini. Pertama, kurangnya kesadaran masyarakat untuk mentaati peraturan tersebut. Kedua, aparat penegak hukum dalam hal ini tidak menjalankan kewajibannya untuk selalu menegakan aturan, hal ini dibuktikan dengan tidak adanya polisi yang berjaga di sepanjang jalan. Ketiga, kurangnya fasilitas pendukung dalam proses penegakan hukum, seperti tidak adanya kamera cctv di jalan-jalan raya untuk memantau lalu lintas. Dari kasus di atas sudah jelas bahwa masyarakat mentaati aturan karena dua hal sebagaimana telah dijelaskan di atas, yaitu pertama, karena tujuan hukum sama dengan tujuan atau aspirasi anggota-anggota masyarakat itu, yang dalam hal ini aturan penggunaan helm dimaksudkan untuk menjaga keselamatan pengendara. Kedua, karena adanya kekuasaan yang imperatif (bersifat memerintah atau mengharuskan) yang melekat dalam hukum tersebut dengan sanksi apabila ada orang yang berani melanggarnya ia akan memperoleh akibat-akibat hukum yang tidak diinginkan.

Dari semua penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum merupakan bagian dari masyarakat dan untuk mengatur pola perilaku masyarakat. Tetapi di dalam penegakan aturan (hukum) masih ada kelemahan yang tentunya menghambat proses penegakan hukum dan ini seharunya bisa diperbaiki demi tercapainya tujuan hukum yang telah dirumuskan.

Sumber Bacaan
Rahardjo, Satjipto. 2012. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Soekanto, Soerjono. 2007. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Jumat, 07 April 2017

Paradigma Perubahan Sosial

Perubahan-perubahan sosial yang terjadi di dalam suatu masyarakat dapat terjadi karena bermacam-macam sebab. Sebab-sebab tersebut dapat berasal dari masyarakat itu sendiri (sebab-sebab intern) maupun dari luar masyarakat tersebut (sebab-sebab ekstern). Sebagai sebab-sebab intern antara lain, bertambah atau berkurangnya jumlah penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan (conflict), dan terjadinya suatu revolusi. Sebab-sebab ekstern antara lain, berasal dari lingkungan alam fisik, pengaruh kebudayaan masyarakat lain, dan peperangan.
Perubahan sosial menurut Selo Sumardjan adalah segala perubahan pada lembaga kemasyarakatan yang mempengaruhi sistem sosial yang termasuk di dalamnya nilai, sikap, pola perilaku di dalam kelompok masyarakat. Perubahan dimulai dari lembaga-lembaga sosial yang mencangkup nilai (sesuatu yang dianggap baik atau buruk), sikap, dan perilaku untuk kemudian diterapkan oleh kelompok masyarakat tersebut.
Menurut Karl Mainhaim inti dari perubahan sosial adalah perubahan aturan atau kaidah atau norma. Jadi, kalau aturannya berubah maka akan mempengaruhi lembaga sosial, sikap, dan perilaku masyarakat.
Hubungan antara perubahan sosial dengan perubahan hukum adalah ada kalanya hukum mengubah pola perilaku masyarakat dan ada kalanya juga masyarakat ikut andil dalam mengubah hukum, keduanya saling berinteraksi. Berikut ini penjelasan dari hubungan antara perubahan sosial dengan perubahan hukum.
1.         Hukum sebagai pelayan masyarakat, artinya agar hukum tidak tertinggal oleh perubahan laju masyarakat, maka hukum mengikuti kemauan masyarakat. Dalam paradigma ini dikenal Teori Utilitas yang dikemukakan oleh Jeremy Bentham yang menyatakan bahwa “hukum bertugas mewujudkan kebahagiaan bagi sebanyak-banyaknya orang”. Dalam paradigma ini hukum sifatnya mengabdi kepada masyarakat. Masyarakat sudah berubah, kemudian hukum tinggal mengesahkan (aturan formal).
2.          Hukum menciptakan perubahan bagi masyarakat atau memicu perubahan dalam masyarakat. Dalam paradigma ini dikenal Teori The Law Is a Tool Of Social Engeenering (hukum sebagai alat rekayasa sosial) yang dikemukakan oleh Roscoe Pound. Rekayasa sosial yang dimaksud disini adalah untuk merancang masyarakat agar sesuai dengan masa depan, hukum digunakan untuk mencapai tujuan itu. Jika dibiarkan secara alami maka masyarakat tidak akan berkembang. Dalam paradigma ini hukum adalah sebagai alat rekayasa sosial untuk membuat perubahan dalam masyarakat.
Berikut ini adalah beberapa contoh dari penerapan kedua paradigma tentang hukum di atas.
1.        Adanya peraturan tentang angkutan umum online, yaitu diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum Tidak dalam Trayek yang dijelaskan dalam Bab IV tentang Penyelenggara Angkutan Umum dengan Aplikasi Berbasis Teknologi Informasi. Akhir-akhir ini publik memang diramaikan dengan perselisihan antara para pengemudi angkutan umum konvensional dengan pengemudi angkutan umum online. Hal ini dipicu oleh saling berebut penumpang, selain itu para pengemudi angkutan umum konvensional menganggap bahwa praktik angkutan online ilegal karena tidak membayar pajak dan tidak ada payung hukum yang mengaturnya. Mereka menuntut agar angkutan online dilarang beroperasi. Di sisi lain angkutan online sangat membantu dan memberi manfaat bagi masyarakat penggunanya karena pemesanannya dianggap lebih mudah. Dalam hal ini pemerintah akhirnya membuat peraturan tentang pemberlakuan angkutan umum online, yaitu dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 32 Tahun 2016. Dari contoh ini dapat dipahami bahwa hukum berkembang mengikuti laju perubahan masyarakat. Pada zaman dahulu angkutan umum online masih belum ada tetapi seiring dengan perkembangan zaman angkutan online kini menjadi pilihan bagi warga yang ingin bepergian. Dalam kasus ini hukum mengikuti kemauan masyarakat dengan memberikan jaminan (legalitas) bagi pemberlakuan angkutan umum online.
2.          Adanya Peraturan Walikota Blitar Nomor 15 Tahun 2011 tentang Program Rintisan Wajib Belajar 12 Tahun. Dalam pasal 2 dijelaskan bahwa “(1) Program Rintisan Wajib Belajar 12 Tahun berfungsi mengupayakan perluasan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan bagi setiap warga Kota Blitar usia 7 Tahun sampai 18 Tahun. (2) Program Rintisan Wajib Belajar 12 Tahun bertujuan memberikan pendidikan minimal bagi warga masyarakat Kota Blitar untuk dapat mengembangkan potensi dirinya agar dapat hidup mandiri di dalam masyarakat atau melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi”. Dapat dipahami bahwa peraturan tersebut merupakan sarana untuk menjamin dan meningkatkan kualitas pendidikan bagi warga Kota Blitar untuk mengenyam pendidikan dasar dan menengah selama 12 tahun. Hal ini bertujuan memberi akses bagi warga Kota Blitar untuk meneruskan pendidikannya ke perguruan tinggi agar sumber daya manusia di Kota Blitar menjadi lebih baik dan mempunyai daya saing yang tinggi di era modern ini. Dari penjelasan tersebut, hukum (Peraturan Walikota) dijadikan sebagai alat rekayasa sosial atau alat untuk mengubah masyarakat (agent of change) untuk menciptakan perubahan dalam masyarakat Kota Blitar yang semula hanya wajib mengikuti pendidikan dasar dan menengah selama 9 tahun tetapi kini menjadi 12 tahun. Secara tidak langsung aturan ini akan mengubah pola pikir masyarakat akan pentingnya pendidikan di zaman modern seperti ini.
Dari semua pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa hubungan antara perubahan sosial dengan perubahan hukum memang tidak bisa dipisahkan keduanya saling berkaitan. Ada kalanya hukum mengubah pola perilaku masyarakat dan ada kalanya juga masyarakat ikut andil dalam mengubah hukum. Tetapi, menurut Soerjono Soekanto perubahan sosial dan perubahan hukum tidak selalu berlangsung bersama-sama. Artinya pada keadaan-keadaan tertentu perkembangan hukum mungkin tertinggal oleh perkembangan unsur-unsur lainnya dari masyarakat serta kebudayaannya atau mungkin hal yang sebaliknya yang terjadi.

Sumber Bacaan
Catatan kuliah Sosiologi Hukum, dosen pengajar Zulfatun Nikmah M. H.
Soekanto, Soerjono. 2007. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Selasa, 28 Maret 2017

Kaidah-Kaidah Sosial di Masyarakat

Kaidah adalah norma atau aturan-aturan. Di dalam masyarakat pasti ada aturan. Pergaulan hidup di masyarakat diatur oleh berbagai macam kaidah atau norma yang pada hakikatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan tentram. Di dalam kehidupan masyarakat terdapat empat kaidah atau norma, yaitu kaidah kesopanan, kaidah kesusilaan, kaidah kepercayaan atau agama, dan kaidah hukum. Berikut penjelasan dari masing-masing kaidah sosial.
1.                  Kaidah Kesopanan
Ciri-ciri dari kaidah ini adalah bersifat tidak tertulis karena merupakan kesepakatan masyarakat yang bersifat lokal (berlaku di masyarakat sekitar saja) mengenai tata cara bertingkah laku yang pantas, saling menghormati dan menghargai di dalam masyarakat. Sumber kaidah kesopanan ini berasal dari masyarakat itu sendiri. Sanksi yang diberikan bersifat tidak resmi karena tidak ada lembaga yang mengaturnya, sanksi diberikan langsung oleh masyarakat berupa teguran, digunjing, dan lain-lain. Contoh kaidah kesopanan antara lain sebagai berikut.
a.       saling menyapa dan tersenyum ketika bertemu dengan warga,
b.   berjalan agak menunduk di hadapan orang yang lebih tua sebagai bentuk sifat   menghormati,
c.       berbicara baik dan santun kepada semua orang,
d.      mengetuk pintu dan mengucapkan salam ketika bertamu,
e.       tidak makan terlalu berlebihan di rumah orang lain ketika bertamu,
f.       tidak membantah perintah orang tua,
g.      saling menghargai dan tidak saling menghujat antar warga masyarakat,
h.      menerima suatu pemberian dengan tangan kanan,
i.        tidak meludah di sembarang tempat, dan
j.        tidak berbicara saat makan.
2.                  Kaidah Kesusilaan
Ciri-ciri kaidah kesusilaan adalah sumbernya berasal dari hati nurani sendiri. Pelanggaran terhadap kaidah kesusilaan ini adalah akan merasa gelisah, merasa malu, dan merasa bersalah. Kaidah ini bersifat universal, artinya berlaku di mana saja. Contoh kaidah kesusilaan antara lain sebagai berikut.
a.       bertindak dan berperilaku jujur,
b.      meminta maaf jika melakukan kesalahan,
c.       berpakaian sesuai situasi dan kondisi,
d.      berbicara hal-hal yang baik,
e.     menghormati orang yang lebih tua dan menghargai orang yang lebih muda,
f.       tidak boleh mengambil hak milik orang lain,
g.      membantu orang lain yang membutuhkan,
h.      tidak mengganggu orang lain,
i.        membayar atau mengembalikan hutang, dan
j.        tidak melakukan perbuatan yang sifatnya melecehkan.
3.                  Kaidah Kepercayaan
Kaidah kepercayaan atau kaidah agama bersumber dari kekuatan ghaib yang dipercayai (Allah) untuk orang Islam. Kaidah ini mengatur sikap lahir dan batin manusia. Kaidah ini bersifat universal, artinya berlaku di semua tempat. Sanksi dari kaidah ini bersifat abstrak (tidak resmi) karena tidak ada lembaga yang berwenang, sanksinya ditunda sampai kita mati (eksekusinya nanti di akhirat). Contoh kaidah kepercayaan antara lain sebagai berikut.
a.       melaksanakan ibadah shalat, puasa, zakat, dan haji,
b.      saling membantu antar umat beragama,
c.       saling menjaga toleransi dan tenggang rasa antar umat beragama,
d.      memakan makanan yang halal,
e.       tidak boleh membunuh sesama makhluk hidup,
f.     melaksanakan adzan dan iqamah ketika akan shalat berjamaah di masjid,
g.      tidak meminum minuman keras,
h.      melaksanakan perkawinan sebagai bagian dari sunnah rasul,
i.        tidak boleh berzina, dan
j.        bersikap patuh dan taat kepada kedua orang tua.
4.                  Kaidah Hukum
Ciri-ciri kaidah hukum, yaitu berasal dari penguasa secara resmi, sifatnya tertulis, peraturannya bersifat mengikat, jika dilanggar sanksi diberikan oleh lembaga yang berwenang. Yang membedakan antara kaidah hukum dengan kaidah yang lainnya adalah kaidah hukum isinya berupa hak dan kewajiban, sedangkan kaidah kesopanan, kesusilaan, dan kepercayaan isinya hanya berupa kewajiban saja. Contoh kaidah hukum antara lain sebagai berikut.
a.       tertib berlalu lintas,
b.      tertib membayar pajak,
c.       dilarang membunuh sesama manusia,
d.      tidak boleh membuat kerusuhan dan kegaduhan di dalam masyarakat,
e.       dilarang mencuri barang milik orang lain,
f.       melaksanakan aksi demonstrasi secara tertib sesuai aturan hukum yang berlaku,
g.      dilarang menggunakan narkotika dan obat-obatan terlarang,
h.      kebebasan untuk bisa memperoleh informasi publik,
i.      berhak untuk memperoleh perlakuan yang sama di depan hukum bagi setiap masyarakat, dan
j.        berhak memperoleh jaminan pendidikan dan kesehatan.

Sebagai contoh tindakan nyata di masyarakat tentang pelanggaran kaidah sosial adalah sebagai berikut.
Di sebuah desa X ada pemuda yang sekarang mulai tumbuh dewasa bernama si A. Semasa kecil pada masa-masa SD sampai SMP, si A sering mengambil uang ibunya. Ibu si A sering lupa meletakan dompetnya kemudian si A mengambil sebagian isi dompet tersebut untuk berbagai alasan. Suatu saat si A ketahuan oleh ibunya ketika dia hendak mengambil uang milik ibunya, tetapi si A beralasan bahwa dia mengambil uang untuk keperluan sekolah tetapi pada kenyataannya dia mengambil uang untuk jajan dan beli mainan. Akhirnya ibunya pun marah kepada si A dan sampai sekarang si A tidak pernah mengulangi perbuatan itu lagi. Sekarang dia mulai sadar dan menyesal bahwa apa yang dilakukannya dahulu adalah tindakan yang tidak benar dan melanggar kaidah-kaidah yang berlaku.
Dari contoh di atas dapat dipahami bahwa perbuatan si a telah melanggar norma kesopanan. Seorang anak yang mengambil uang orang tuanya tanpa izin terlebih dahulu merupakan suatu tindakan yang dianggap tidak sopan oleh masyarakat. Selain itu perbuatan tersebut juga melanggar kaidah kepercayaan dan kaidah hukum karena baik di dalam kaidah kepercayaan dan kaidah hukum kita diajarkan untuk tidak boleh mengambil barang milik orang lain tanpa seizin yang punya meskipun itu milik keluarga sendiri. Sikap si A yang merasa bersalah dan menyesal adalah bentuk dari akibat dilanggarnya kaidah kesusilaan. Si A menganggap bahwa apa yang sudah dia lakukan tidak benar menurut hati nuraninya. Artinya satu pelanggaran yang dilakukan seseorang bisa jadi melanggar empat kaidah yang ada, yaitu kaidah kesopanan, kesusilaan, kepercayaan, dan kaidah hukum. Hal ini dapat disimpulkan bahwa antara satu kaidah dengan kaidah yang lain adalah saling berkaitan dan saling mempengaruhi dalam kehidupan masyarakat. Kaidah atau aturan tidak bisa dipisahkan dari masyarakat, aturan diciptakan untuk masyarakat dan masyarakat butuh aturan untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman dalam hidup bermasyarakat.

Sumber Bacaan
Soekanto, Soerjono. 2007. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.