cari

Selasa, 28 Maret 2017

Kaidah-Kaidah Sosial di Masyarakat

Kaidah adalah norma atau aturan-aturan. Di dalam masyarakat pasti ada aturan. Pergaulan hidup di masyarakat diatur oleh berbagai macam kaidah atau norma yang pada hakikatnya bertujuan untuk menghasilkan kehidupan bersama yang tertib dan tentram. Di dalam kehidupan masyarakat terdapat empat kaidah atau norma, yaitu kaidah kesopanan, kaidah kesusilaan, kaidah kepercayaan atau agama, dan kaidah hukum. Berikut penjelasan dari masing-masing kaidah sosial.
1.                  Kaidah Kesopanan
Ciri-ciri dari kaidah ini adalah bersifat tidak tertulis karena merupakan kesepakatan masyarakat yang bersifat lokal (berlaku di masyarakat sekitar saja) mengenai tata cara bertingkah laku yang pantas, saling menghormati dan menghargai di dalam masyarakat. Sumber kaidah kesopanan ini berasal dari masyarakat itu sendiri. Sanksi yang diberikan bersifat tidak resmi karena tidak ada lembaga yang mengaturnya, sanksi diberikan langsung oleh masyarakat berupa teguran, digunjing, dan lain-lain. Contoh kaidah kesopanan antara lain sebagai berikut.
a.       saling menyapa dan tersenyum ketika bertemu dengan warga,
b.   berjalan agak menunduk di hadapan orang yang lebih tua sebagai bentuk sifat   menghormati,
c.       berbicara baik dan santun kepada semua orang,
d.      mengetuk pintu dan mengucapkan salam ketika bertamu,
e.       tidak makan terlalu berlebihan di rumah orang lain ketika bertamu,
f.       tidak membantah perintah orang tua,
g.      saling menghargai dan tidak saling menghujat antar warga masyarakat,
h.      menerima suatu pemberian dengan tangan kanan,
i.        tidak meludah di sembarang tempat, dan
j.        tidak berbicara saat makan.
2.                  Kaidah Kesusilaan
Ciri-ciri kaidah kesusilaan adalah sumbernya berasal dari hati nurani sendiri. Pelanggaran terhadap kaidah kesusilaan ini adalah akan merasa gelisah, merasa malu, dan merasa bersalah. Kaidah ini bersifat universal, artinya berlaku di mana saja. Contoh kaidah kesusilaan antara lain sebagai berikut.
a.       bertindak dan berperilaku jujur,
b.      meminta maaf jika melakukan kesalahan,
c.       berpakaian sesuai situasi dan kondisi,
d.      berbicara hal-hal yang baik,
e.     menghormati orang yang lebih tua dan menghargai orang yang lebih muda,
f.       tidak boleh mengambil hak milik orang lain,
g.      membantu orang lain yang membutuhkan,
h.      tidak mengganggu orang lain,
i.        membayar atau mengembalikan hutang, dan
j.        tidak melakukan perbuatan yang sifatnya melecehkan.
3.                  Kaidah Kepercayaan
Kaidah kepercayaan atau kaidah agama bersumber dari kekuatan ghaib yang dipercayai (Allah) untuk orang Islam. Kaidah ini mengatur sikap lahir dan batin manusia. Kaidah ini bersifat universal, artinya berlaku di semua tempat. Sanksi dari kaidah ini bersifat abstrak (tidak resmi) karena tidak ada lembaga yang berwenang, sanksinya ditunda sampai kita mati (eksekusinya nanti di akhirat). Contoh kaidah kepercayaan antara lain sebagai berikut.
a.       melaksanakan ibadah shalat, puasa, zakat, dan haji,
b.      saling membantu antar umat beragama,
c.       saling menjaga toleransi dan tenggang rasa antar umat beragama,
d.      memakan makanan yang halal,
e.       tidak boleh membunuh sesama makhluk hidup,
f.     melaksanakan adzan dan iqamah ketika akan shalat berjamaah di masjid,
g.      tidak meminum minuman keras,
h.      melaksanakan perkawinan sebagai bagian dari sunnah rasul,
i.        tidak boleh berzina, dan
j.        bersikap patuh dan taat kepada kedua orang tua.
4.                  Kaidah Hukum
Ciri-ciri kaidah hukum, yaitu berasal dari penguasa secara resmi, sifatnya tertulis, peraturannya bersifat mengikat, jika dilanggar sanksi diberikan oleh lembaga yang berwenang. Yang membedakan antara kaidah hukum dengan kaidah yang lainnya adalah kaidah hukum isinya berupa hak dan kewajiban, sedangkan kaidah kesopanan, kesusilaan, dan kepercayaan isinya hanya berupa kewajiban saja. Contoh kaidah hukum antara lain sebagai berikut.
a.       tertib berlalu lintas,
b.      tertib membayar pajak,
c.       dilarang membunuh sesama manusia,
d.      tidak boleh membuat kerusuhan dan kegaduhan di dalam masyarakat,
e.       dilarang mencuri barang milik orang lain,
f.       melaksanakan aksi demonstrasi secara tertib sesuai aturan hukum yang berlaku,
g.      dilarang menggunakan narkotika dan obat-obatan terlarang,
h.      kebebasan untuk bisa memperoleh informasi publik,
i.      berhak untuk memperoleh perlakuan yang sama di depan hukum bagi setiap masyarakat, dan
j.        berhak memperoleh jaminan pendidikan dan kesehatan.

Sebagai contoh tindakan nyata di masyarakat tentang pelanggaran kaidah sosial adalah sebagai berikut.
Di sebuah desa X ada pemuda yang sekarang mulai tumbuh dewasa bernama si A. Semasa kecil pada masa-masa SD sampai SMP, si A sering mengambil uang ibunya. Ibu si A sering lupa meletakan dompetnya kemudian si A mengambil sebagian isi dompet tersebut untuk berbagai alasan. Suatu saat si A ketahuan oleh ibunya ketika dia hendak mengambil uang milik ibunya, tetapi si A beralasan bahwa dia mengambil uang untuk keperluan sekolah tetapi pada kenyataannya dia mengambil uang untuk jajan dan beli mainan. Akhirnya ibunya pun marah kepada si A dan sampai sekarang si A tidak pernah mengulangi perbuatan itu lagi. Sekarang dia mulai sadar dan menyesal bahwa apa yang dilakukannya dahulu adalah tindakan yang tidak benar dan melanggar kaidah-kaidah yang berlaku.
Dari contoh di atas dapat dipahami bahwa perbuatan si a telah melanggar norma kesopanan. Seorang anak yang mengambil uang orang tuanya tanpa izin terlebih dahulu merupakan suatu tindakan yang dianggap tidak sopan oleh masyarakat. Selain itu perbuatan tersebut juga melanggar kaidah kepercayaan dan kaidah hukum karena baik di dalam kaidah kepercayaan dan kaidah hukum kita diajarkan untuk tidak boleh mengambil barang milik orang lain tanpa seizin yang punya meskipun itu milik keluarga sendiri. Sikap si A yang merasa bersalah dan menyesal adalah bentuk dari akibat dilanggarnya kaidah kesusilaan. Si A menganggap bahwa apa yang sudah dia lakukan tidak benar menurut hati nuraninya. Artinya satu pelanggaran yang dilakukan seseorang bisa jadi melanggar empat kaidah yang ada, yaitu kaidah kesopanan, kesusilaan, kepercayaan, dan kaidah hukum. Hal ini dapat disimpulkan bahwa antara satu kaidah dengan kaidah yang lain adalah saling berkaitan dan saling mempengaruhi dalam kehidupan masyarakat. Kaidah atau aturan tidak bisa dipisahkan dari masyarakat, aturan diciptakan untuk masyarakat dan masyarakat butuh aturan untuk menciptakan ketertiban dan ketentraman dalam hidup bermasyarakat.

Sumber Bacaan
Soekanto, Soerjono. 2007. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Selasa, 21 Maret 2017

Sistem Peradilan Menurut Teori Sosial tentang Hukum dari Max Weber


Max Weber (1864-1920) adalah seorang tokoh dari Jerman, pendidikan akademisnya adalah di bidang hukum. Ia belajar hukum pada saat Aliran Sejarah sedang menanjak. Salah satu karyanya yang paling lengkap dan mendalam adalah Wirtschaft and Gezellschaft pada tahun 1922. Weber memandang hukum sebagai suatu kumpulan norma-norma atau aturan  yang dikelompokan dan dikombinasikan dengan konsensus, menggunakan alat kekerasan sebagai daya paksaan. Ia menganggap, hukum adalah kesepakatan yang valid dalam suatu kelompok tertentu (Consensually valid in a group) dan merupakan jaminan (guaranteed) melalui suatu paksaan (Coercive apparatus). Menurut Weber, dua hal tersebut adalah unsur mutlak yang harus ada dalam hukum.
Max Weber disebut sebagai bapak Sosiologi Hukum modern, yang menggarap hukum secara komprehensif dengan metode sosiologis. Salah satu teori sosial tentang hukum yang dikemukakannya adalah mengenai konsep hegemoni yang menyatakan bahwa “setiap masyarakat berkembang linear dari sederhana menuju ke yang lebih modern”. Kemudian apa hubungannya perkembangan tersebut dengan hukum. Hubungannya dengan hukum adalah “bahwa hukum di masyarakat juga berkembang linear dari hukum yang bersifat irrasional ke hukum yang bersifat rasional”. Maksud dari berkembang linear disini adalah berkembang searah tetapi menunjukan peningkatan. Menurut Max Weber, perkembangan hukum materiil dan hukum acara mengikuti tahap-tahap perkembangan tertentu, mulai dari bentuk sederhana yang didasarkan pada kharisma sampai pada tahap termaju dimana hukum disusun secara sistematis serta dijalankan oleh orang yang telah mendapatkan pendidikan dan latihan di bidang hukum.
Pada masyarakat primitif hukumnya masih bersifat irrasional karena sumbernya berasal dari makhluk ghaib. Mereka meyakini bahwa makhluk ghaib (roh halus) mampu mengatur dan memberikan sanksi kepada mereka. Dari masyarakat primitif berkembang menjadi lebih modern dengan digunakannya akal pikir manusia untuk memudahkan aktivitas mereka. Hukum tidak lagi bersumber dari makhluk ghaib tetapi bersumber dari tokoh-tokoh kharismatik, yaitu orang yang dianggap mempunyai pengaruh yang besar kepada orang lain untuk mengikutinya, misalnya ketua adat, sesepuh desa, dan para kyai. Hukum tidak lagi dikaitkan dengan hal-hal yang ghaib. Kemudian masyarakat berkembang lagi menjadi masyarakat modern (kompleks). Pada masyarakat ini hukumnya bersifat rasional, yaitu dalam bentuk undang-undang tertulis. Hukum dibuat dan ditegakkan oleh lembaga yang berwenang.
Dari masyarakat primitif sampai masyarakat modern masing-masing mempunyai sistem peradilan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Menurut Max Weber ada tiga tipe dalam penyelenggaraan peradilan, yaitu sebagai berikut.
1)   Peradilan Kadi
Peradilan ini dapat dijumpai pada masyarakat primitif, masyarakat mengadili suatu perkara dengan bersemedi atau mencari wangsit (petunjuk) dari makhluk ghaib. Keputusan peradilan ini dipercayakan sepenuhnya kepada sang pengadil, tanpa diperlukan adanya kontrol oleh sistem lainnya. Peradilan ini dianggap sebagai peradilan yang paling tidak rasional. 
2)   Peradilan Empiris 
Peradilan ini dapat ditemui pada masyarakat yang hukumnya bersumber dari tokoh-tokoh yang dianggap kharismatik. Tipe peradilan ini lebih rasional, meskipun belum sepenuhnya. Sanksi dari peradilan ini bersifat mengulang sanksi yang sudah diterapkan terdahulu untuk diterapkan lagi dalam perkara yang tengah dihadapi. 
3)   Peradilan yang Rasional
Peradilan yang rasional adalah peradilan yang bekerja atas asas-asas yang telah dirumuskan dalam sebuah birokrasi, yang hasilnya memiliki daya yang cukup universal dalam penerapannya. Peradilan ini dapat dijumpai di masyarakat yang sudah modern seperti sekarang ini dimana hukum dibuat dan ditegakkan oleh lembaga yang berwenang.
Berikut ini contoh penerapan dari tipe-tipe peradilan menurut Max Weber dalam kehidupan di masyarakat.
1)        Di sebuah desa A terdapat dua bersaudara perempuan sebut saja namanya B dan C. Keduanya kemudian menikah dengan pasangannya masing-masing. Rumah antara si B dan C dengan suami mereka mengarah ke arah Utara Barat. Bagi masyarakat desa A mereka meyakini bahwa jika menikah dengan pasangan yang arah rumahnya mengarah ke Utara Barat berarti itu sama saja menyeberangi lautan darah. Mereka menyatakan jika hal itu dilakukan akan mengakibatkan salah satu di antara pasangan tersebut akan mengalami sakit-sakitan, sulit mencari rezeki, keluarganya tidak bahagia, dan bahkan bisa meninggal. Hal ini pula yang dialami oleh keluarga si B dan C. Si B harus bercerai dengan suaminya karena merasa keluarganya tidak nyaman lagi dan juga orang tuanya tidak merestui pernikahan tersebut. Si C juga mengalami hal yang sama, dia sering cek-cok dengan suaminya dan sekarang dia mengalami sakit yang tidak kunjung sembuh. Hal itu memang sulit dipercaya karena tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Tetapi masyarakat tetap meyakini jika hal tersebut dilakukan akan ada yang memberi sanksi berupa suatu musibah. Hal tersebut merupakan keyakinan yang turun-temurun dari nenek moyang warga setempat.
Dari kasus tersebut dapat dipahami bahwa masyarakat meyakini bahwa pernikahan dengan pasangan yang arah rumahnya ke Utara Barat akan menimbulkan musibah. Mereka meyakini ada kekuatan (sesuatu yang ghaib) yang mampu memberi sanksi kepada mereka, meskipun darimana dan siapa yang memberi sanksi tersebut tidak jelas asalnya. Hal ini menunjukan bahwa di dalam masyarakat desa A masih berlaku hukum yang bersifat primitif, artinya hukumnya masih bersifat irrasional karena sumbernya berasal dari makhluk ghaib. Mereka meyakini bahwa makhluk ghaib mampu mengatur dan memberikan sanksi kepada mereka. Jadi, berdasarkan penjelasan tersebut sistem peradilan yang digunakan pada masyarakat desa A merupakan peradilan Kadi.
2)     Di Kelurahan Kalipang, Kecamatan Sutojayan, Lodoyo Kabupaten Blitar, ada sebuah ritual kebudayaan yang menyita banyak perhatian warga masyarakat, yaitu ritual pemandian pusaka Gong Kyai Pradah. Ritual ini sudah sangat terkenal di daerah Kabupaten Blitar. Pada setiap ritual ini berlangsung para pejabat daerah Kabupaten Blitar turut hadir, seperti bupati, wakil bupati, dan camat setempat. Ribuan warga juga sangat antusias menyaksikan ritual tersebut tidak hanya dari Blitar tetapi juga dari daerah lain. Mereka meyakini bahwa air bekas siraman Gong Kyai Pradah dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan membuat awet muda. Gong Kyai Pradah sendiri merupakan suatu pusaka berbentuk gong yang merupakan peninggalan dari Pangeran Prabu, yaitu tokoh yang pertama kali mbabat tanah Lodoyo. Beliau berpesan agar di setiap tanggal 12 Maulud dan 1 Syawal pusaka tersebut dimandikan. Ritual memandikan pusaka Gong Kyai Pradah ini sudah berlangsung selama ratusan tahun dan menjadi keyakinan masyarakat setempat untuk menjaga seluruh desa dari marabahaya. Apabila ritual siraman ini tidak dilaksanakan maka warga desa akan terjangkit penyakit yang aneh dan juga akan ada sesuatu yang menyerang hasil bumi masyarakat setempat, begitulah kepercayaan para sesepuh desa.
Dari kasus di atas dapat dipahami bahwa ritual siraman Gong Kyai Pradah sudah berlangsung sangat lama dan dilaksanakan secara turun-temurun sampai sekarang. Ritual siraman tersebut berawal dari pesan Pangeran Prabu. Masyarakat sangat mempercayai akan manfaat dan akibat yang diterima jika tidak melaksanakan ritual siraman Gong Kyai Pradah. Menurut penulis tradisi ini memang berasal dari tokoh yang dianggap berpengaruh (kharismatik), yaitu Pangeran Prabu. Tetapi dalam praktiknya masyarakat mempercayai bahwa pusaka Gong Kyai Pradah mempunyai kekuatan ghaib yang mampu memberikan keamanan bagi desa mereka dan mapu memberikan sanksi kepada mereka apabila ritual siraman tidak dilaksanakan. Hal ini merupakan ciri khas dari tipe peradilan Kadi dimana sanksinya berasal dari kekuatan ghaib. Jadi, meskipun ritual ini berasal dari tokoh yang bersifat kharismatik, tetapi dalam praktiknya jelas terlihat bahwa hukum yang bersifat primitif lebih dominan mempengaruhi masyarakat setempat.
Dari kedua contoh kasus di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun masyarakat dan hukum selalu berkembang linear dari yang bersifat sederhana (irrasional)  ke arah yang bersifat lebih modern (rasional), tetapi hukum yang bersifat primitif tidak akan hilang tergerus oleh perkembangan zaman dan tetap berlaku di sebagian masyarakat modern.

Sumber Bacaan
Anwar, Yesmil dan Adang. 2013. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Grasindo.
Rahardjo, Satjipto. 2012. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Soekanto, Soerjono. 2007. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Selasa, 07 Maret 2017

Analisis Masalah Sosial Menggunakan Teori Emile Durkheim

Emile Durkheim dari Perancis adalah salah seorang tokoh penting yang mengembangkan sosiologi dengan ajaran-ajaran yang klasik. Di dalam teorinya tentang masyarakat, Durkheim menaruh perhatian besar terhadap kaidah-kaidah hukum yang dihubungkan dengan jenis-jenis  solidaritas yang dijumpai di masyarakat. Hukum dirumuskannya sebagai suatu kaidah yang bersanksi. Berat ringannya sanksi senantiasa tergantung dari masyarakat tentang baik buruknya suatu tindakan dan peranan sanksi -sanksi tersebut dalam masyarakat.
Menurut teori sosial tentang hukum yang dikemukakan oleh Emile Durkheim yang menyatakan bahwa “Hukum merupakan cerminan solidaritas sosial dari masyarakat”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia solidaritas berarti sifat atau perasaan senasib, perasaan setia kawan. Menurut Emile Durkheim, berdasarkan kerekatan sosial, solidaritas dapat dibagi menjadi dua, yaitu solidaritas mekanis (mechanical solidarity) dan solidaritas organis (organic solidarity). Berikut penjelasan dari masing-masing bentuk solidaritas tersebut.
1)                 Solidaritas Mekanis (Mechanical Solidarity)
Soildaritas mekanis dapat dijumpai pada masyarakat paguyuban, yaitu masyarakat yang hubungan antara satu dengan yang lainnya sangat akrab, masyarakat yang relatif sederhana dan homogen (adanya kesamaan latar belakang dalam hal pekerjaan), biasanya sering dijumpai di masyarakat pedesaan. Solidaritas mekanis dapat terjalin dengan kuat apabila cita-cita bersama dari masyarakat yang bersangkutan secara kolektif lebih kuat serta lebih intensif daripada cita-cita masing-masing warganya secara individual. Hal ini disebabkan karena keutuhan masyarakat tersebut dijamin oleh hubungan antar manusia yang erat serta adanya tujuan bersama. Pada masyarakat dimana solidaritas mekanis berkembang, sanksi hukumnya bersifat represif, yaitu suatu sanksi yang bernuansa kekerasan, misalnya berupa celaan dari masyarakat, suatu penghinaan terhadap kehormatan, baik dalam bentuk hukuman mati atau hukuman badan, penghapusan kemerdekaan, dan pencelaan di muka umum. Hal ini disebabkan karena pelanggaran dan kejahatan dianggap sebagai tindakan yang mencemarkan keyakinan bersama. Dalam hal ini masyarakat bertindak bersama-sama, karena masing-masing merasa terancam oleh penyimpangan atau pelanggaran terhadap kaidah-kaidah pokok masyarakat. Reaksi masyarakat terhadap penyimpangan atau pelanggaran tersebut dapat memperkuat rasa solidaritas dalam mayarakat.
2)                 Solidaritas Organis (Organic Solidarity)
Solidaritas organis dapat dijumpai pada masyarakat patembayan, yaitu masyarakat yang hubungan antara satu dengan yang lainnya renggang atau individual, masyarakat yang bersifat heterogen (berbeda latar belakang pekerjaannya), masyarakat yang sifatnya lebih modern dan lebih kompleks, yaitu masyarakat yang ditandai oleh pembagian kerja yang kompleks, biasanya sering dijumpai di masyarakat perkotaan. Pada masyarakat dimana solidaritas organis diterapkan, sanksi hukumannya tidak semata-mata mendatangkan penderitaan bagi mereka yang melanggarnya, tetapi sanksinya lebih bersifat restitutif, yaitu sanksi yang sifatnya memulihkan keadaan. Tujuan utama kaidah-kaidah hukum ini adalah untuk mengembalikan pada situasi seperti semula, sebelum terjadi kegoncangan sebagai akibat dilanggarnya suatu kaidah hukum dalam masyarakat, hubungan-hubungan yang terganggu dipulihkan ke dalam keadaannya yang normal.
Contoh-contoh masalah sosial yang terjadi di masyarakat, yaitu sebagai berikut.
1)                 Di suatu desa tepatnya di desa Kedung Bunder, Kabupaten Blitar, dalam rangka menyambut hari Kemerdekaan RI ke 71 pada tahun 2016. Ketua RT menyampaikan agar seluruh warga desa turut serta dalam kegiatan gotong royong untuk membersihkan dan menghias desa dalam rangka memeriahkan HUT RI ke 71. Semua warga desa sepakat dengan kegiatan itu karena dinilai positif. Mendengar informasi tersebut warga desa berbondong-bondong setiap malam untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut. Para pemuda desa setiap malam dari mulai selepas Isya’ sampai selesai, bergotong royong memasang lampu hias di pinggir jalan, mengecat tempat-tempat umum, membuat bak sampah, untuk ibu-ibu menyiapkan makanan bagi warga yang bergotong royong, semua dilakukan untuk membuat lingkungan desa menjadi bersih dan indah. Mereka semua kompak dalam mengikuti kegiatan tersebut. Tetapi, ada satu pemuda desa sebut saja namanya si A, yang tidak pernah megikuti kegiatan tersebut. Warga desa yang mengetahui hal tersebut merasa tidak nyaman dan jengkel karena kesepakatan yang telah disetujui bersama tidak dijalankan oleh si A. Warga desa kemudian mencaci maki dan mengolok-ngolok si A agar dia merasa malu.
Dari kasus di atas dapat dipahami bahwa tindakan si A jelas melanggar norma yang telah disepakati oleh warga desa. Kemudian si A mendapatkan hukuman sosial berupa cacian dari warga, ini menunjukan bahwa di masyarakat desa Kedung Bunder sanksi yang bersifat represif benar-benar diterapkan, yaitu dalam bentuk kekerasan secara verbal. Masyarakat melakukan sanksi tersebut bukan tanpa alasan karena masyarakat merasa tidak nyaman, hal ini disebabkan karena pelanggaran dianggap sebagai tindakan yang mencemarkan keyakinan bersama dan untuk mencegah agar si A tidak mengulanginya lagi dan warga lain tidak melakukan hal yang sama.
2)                 Di sebuah desa di Kabupaten Blitar, sebut saja desa B, ada sebuah keluarga yang sederhana yang ingin cepat kaya. Mereka sudah berusaha keras untuk mewujudkannya, tetapi karena persaingan usaha yang semakin ketat, akhirnya mereka menggunakan cara-cara yang bisa dibilang irrasional. Percaya atau tidak percaya yang pasti ini sudah terjadi secara nyata. Ada warga yang mengeluhkan kehilangan uangnya. Tidak hanya satu warga tetapi beberapa warga mengeluhkan hal yang sama. Informasi tersebut cepat menyebar dari mulut ke mulut dan menjadi pembicaraan masyarakat setempat. Karena dinilai sudah membuat resah masyarakat akhirnya sekelompok santri dari pondok pesantren di desa itu setiap malam melakukan ronda keliling kampung didampingi guru spiritual mereka. Setelah beberapa hari melakukan ronda, hasilnya sangat mengejutkan. Guru spiritual dari santri pondok tersebut meyakini bahwa keluarga tersebut memelihara “babi ngepet”. Warga masyarakat pun juga merasa demikian. Semua warga desa mulai menjauh dan bersifat acuh terhadap keluarga tersebut. Keluaga tersebut juga merasa tidak nyaman dengan kondisi yang ada karena warga tidak menganggapnya lagi. Akhirnya keluarga tersebut mengakui kesalahannya bahwa dia benar-benar memelihara “babi ngepet”. Kemudian mereka mengadakan acara selametan bersama dan meminta maaf kepada semua warga dan bersumpah untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi.
Dalam kasus tersebut masyarakat bertindak bersama-sama dalam menghadapi sebuah masalah karena masing-masing merasa terancam oleh penyimpangan atau pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat yang dilakukan oleh si keluarga tadi. Hal ini mencerminkan bahwa rasa solidaritas warga desa B tinggi. Sanksi yang diberikan masyarakat juga tidak hanya bersifat represif dalam bentuk pembiaran (diacuhkan) dan menjadi bahan pembicaraan banyak orang tetapi juga bersifat restitutif, artinya masyarakat tidak menghakimi sendiri pelaku tetapi lebih memulihkan hubungan-hubungan sosial yang terganggu ke dalam keadaan normal yang tercermin dari sikap warga yang bersedia menghadiri acara selametan yang diselenggarakan oleh si keluarga tadi.
Berdasarkan kedua contoh kasus di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat menghadapi masalah sosial secara kolektif. Sanksi sosial yang bersifat represif benar-benar diterapkan di masyarakat dalam bentuk verbal berupa celaan. Sanksi ini bertujuan sebagai upaya pencegahan (preventif) agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi dan mencegah agar warga lain tidak melakukan pelanggaran yang sama. Tidak hanya itu, pada kasus kedua masyarakat juga menerapkan sanksi yang bersifat restitutif dengan tujuan hubungan-hubungan sosial yang mengalami ketegangan akibat terjadinya pelanggaran kaidah hukum bisa diperbaiki seperti sedia kala. Hal ini berarti di dalam masyarakat pedesaan tidak selamanya sanksi represif diterapkan secara mutlak, tetapi juga terbuka kemungkinan untuk diterapkannya sanksi yang bersifat restitutif. Jadi, solidaritas mekanis sangat kental terasa dalam kedua kasus di atas karena masalah sosial yang dihadapi masyarakat di satu sisi menjadi ancaman bagi mereka, tetapi di sisi lain dapat memperkuat solidaritas kelompok dan ini menjadi ciri yang khas dari solidaritas mekanis.
Sumber Bacaan
Johnson, Alvin S. 1994. Sosiologi Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Soekanto, Soerjono. 2014. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.