Max
Weber (1864-1920) adalah seorang tokoh dari Jerman, pendidikan akademisnya
adalah di bidang hukum. Ia belajar hukum pada saat Aliran Sejarah sedang
menanjak. Salah satu karyanya yang paling lengkap dan mendalam adalah Wirtschaft and Gezellschaft pada tahun
1922. Weber memandang hukum sebagai suatu kumpulan norma-norma atau aturan yang dikelompokan dan dikombinasikan dengan
konsensus, menggunakan alat kekerasan sebagai daya paksaan. Ia menganggap,
hukum adalah kesepakatan yang valid dalam suatu kelompok tertentu (Consensually valid in a group) dan
merupakan jaminan (guaranteed)
melalui suatu paksaan (Coercive apparatus).
Menurut Weber, dua hal tersebut adalah unsur mutlak yang harus ada dalam hukum.
Max
Weber disebut sebagai bapak Sosiologi Hukum modern, yang menggarap hukum secara
komprehensif dengan metode sosiologis. Salah satu teori sosial tentang hukum
yang dikemukakannya adalah mengenai konsep hegemoni yang menyatakan bahwa “setiap masyarakat berkembang linear dari
sederhana menuju ke yang lebih modern”. Kemudian apa hubungannya
perkembangan tersebut dengan hukum. Hubungannya dengan hukum adalah “bahwa hukum di masyarakat juga berkembang
linear dari hukum yang bersifat irrasional ke hukum yang bersifat rasional”.
Maksud dari berkembang linear disini adalah berkembang searah tetapi menunjukan
peningkatan. Menurut Max Weber, perkembangan hukum materiil dan hukum acara
mengikuti tahap-tahap perkembangan tertentu, mulai dari bentuk sederhana yang
didasarkan pada kharisma sampai pada tahap termaju dimana hukum disusun secara
sistematis serta dijalankan oleh orang yang telah mendapatkan pendidikan dan
latihan di bidang hukum.
Pada
masyarakat primitif hukumnya masih bersifat irrasional karena sumbernya berasal
dari makhluk ghaib. Mereka meyakini bahwa makhluk ghaib (roh halus) mampu
mengatur dan memberikan sanksi kepada mereka. Dari masyarakat primitif
berkembang menjadi lebih modern dengan digunakannya akal pikir manusia untuk
memudahkan aktivitas mereka. Hukum tidak lagi bersumber dari makhluk ghaib
tetapi bersumber dari tokoh-tokoh kharismatik, yaitu orang yang dianggap
mempunyai pengaruh yang besar kepada orang lain untuk mengikutinya, misalnya
ketua adat, sesepuh desa, dan para kyai. Hukum tidak lagi dikaitkan dengan hal-hal
yang ghaib. Kemudian masyarakat berkembang lagi menjadi masyarakat modern
(kompleks). Pada masyarakat ini hukumnya bersifat rasional, yaitu dalam bentuk
undang-undang tertulis. Hukum dibuat dan ditegakkan oleh lembaga yang
berwenang.
Dari
masyarakat primitif sampai masyarakat modern masing-masing mempunyai sistem
peradilan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Menurut Max Weber
ada tiga tipe dalam penyelenggaraan peradilan, yaitu sebagai berikut.
1) Peradilan Kadi
Peradilan ini dapat
dijumpai pada masyarakat primitif, masyarakat mengadili suatu perkara dengan
bersemedi atau mencari wangsit (petunjuk) dari makhluk ghaib. Keputusan
peradilan ini dipercayakan sepenuhnya kepada sang pengadil, tanpa diperlukan
adanya kontrol oleh sistem lainnya. Peradilan ini dianggap sebagai peradilan
yang paling tidak rasional.
2) Peradilan Empiris
Peradilan
ini dapat ditemui pada masyarakat yang hukumnya bersumber dari tokoh-tokoh yang
dianggap kharismatik. Tipe peradilan ini lebih rasional, meskipun belum sepenuhnya.
Sanksi dari peradilan ini bersifat mengulang sanksi yang sudah diterapkan
terdahulu untuk diterapkan lagi dalam perkara yang tengah dihadapi.
3) Peradilan yang Rasional
Peradilan
yang rasional adalah peradilan yang bekerja atas asas-asas yang telah dirumuskan
dalam sebuah birokrasi, yang hasilnya memiliki daya yang cukup universal dalam
penerapannya. Peradilan ini dapat dijumpai di masyarakat yang sudah modern
seperti sekarang ini dimana hukum dibuat dan ditegakkan oleh lembaga yang
berwenang.
Berikut
ini contoh penerapan dari tipe-tipe peradilan menurut Max Weber dalam kehidupan
di masyarakat.
1) Di sebuah desa A terdapat dua bersaudara
perempuan sebut saja namanya B dan C. Keduanya kemudian menikah dengan
pasangannya masing-masing. Rumah antara si B dan C dengan suami mereka mengarah
ke arah Utara Barat. Bagi masyarakat desa A mereka meyakini bahwa jika menikah
dengan pasangan yang arah rumahnya mengarah ke Utara Barat berarti itu sama
saja menyeberangi lautan darah. Mereka menyatakan jika hal itu dilakukan akan
mengakibatkan salah satu di antara pasangan tersebut akan mengalami
sakit-sakitan, sulit mencari rezeki, keluarganya tidak bahagia, dan bahkan bisa
meninggal. Hal ini pula yang dialami oleh keluarga si B dan C. Si B harus
bercerai dengan suaminya karena merasa keluarganya tidak nyaman lagi dan juga
orang tuanya tidak merestui pernikahan tersebut. Si C juga mengalami hal yang
sama, dia sering cek-cok dengan suaminya dan sekarang dia mengalami sakit yang
tidak kunjung sembuh. Hal itu memang sulit dipercaya karena tidak bisa
dibuktikan secara ilmiah. Tetapi masyarakat tetap meyakini jika hal tersebut
dilakukan akan ada yang memberi sanksi berupa suatu musibah. Hal tersebut merupakan
keyakinan yang turun-temurun dari nenek moyang warga setempat.
Dari
kasus tersebut dapat dipahami bahwa masyarakat meyakini bahwa pernikahan dengan
pasangan yang arah rumahnya ke Utara Barat akan menimbulkan musibah. Mereka
meyakini ada kekuatan (sesuatu yang ghaib) yang mampu memberi sanksi kepada
mereka, meskipun darimana dan siapa yang memberi sanksi tersebut tidak jelas
asalnya. Hal ini menunjukan bahwa di dalam masyarakat desa A masih berlaku
hukum yang bersifat primitif, artinya hukumnya masih bersifat irrasional karena
sumbernya berasal dari makhluk ghaib. Mereka meyakini bahwa makhluk ghaib mampu
mengatur dan memberikan sanksi kepada mereka. Jadi, berdasarkan penjelasan
tersebut sistem peradilan yang digunakan pada masyarakat desa A merupakan
peradilan Kadi.
2) Di Kelurahan Kalipang, Kecamatan
Sutojayan, Lodoyo Kabupaten Blitar, ada sebuah ritual kebudayaan yang menyita
banyak perhatian warga masyarakat, yaitu ritual pemandian pusaka Gong Kyai
Pradah. Ritual ini sudah sangat terkenal di daerah Kabupaten Blitar. Pada
setiap ritual ini berlangsung para pejabat daerah Kabupaten Blitar turut hadir,
seperti bupati, wakil bupati, dan camat setempat. Ribuan warga juga sangat
antusias menyaksikan ritual tersebut tidak hanya dari Blitar tetapi juga dari
daerah lain. Mereka meyakini bahwa air bekas siraman Gong Kyai Pradah dapat menyembuhkan
berbagai penyakit dan membuat awet muda. Gong Kyai Pradah sendiri merupakan
suatu pusaka berbentuk gong yang merupakan peninggalan dari Pangeran Prabu,
yaitu tokoh yang pertama kali mbabat
tanah Lodoyo. Beliau berpesan agar di setiap tanggal 12 Maulud dan 1 Syawal
pusaka tersebut dimandikan. Ritual memandikan pusaka Gong Kyai Pradah ini sudah
berlangsung selama ratusan tahun dan menjadi keyakinan masyarakat setempat
untuk menjaga seluruh desa dari marabahaya. Apabila ritual siraman ini tidak
dilaksanakan maka warga desa akan terjangkit penyakit yang aneh dan juga akan
ada sesuatu yang menyerang hasil bumi masyarakat setempat, begitulah
kepercayaan para sesepuh desa.
Dari kasus di atas
dapat dipahami bahwa ritual siraman Gong Kyai Pradah sudah berlangsung sangat
lama dan dilaksanakan secara turun-temurun sampai sekarang. Ritual siraman
tersebut berawal dari pesan Pangeran Prabu. Masyarakat sangat mempercayai akan
manfaat dan akibat yang diterima jika tidak melaksanakan ritual siraman Gong
Kyai Pradah. Menurut penulis tradisi ini memang berasal dari tokoh yang
dianggap berpengaruh (kharismatik), yaitu Pangeran Prabu. Tetapi dalam
praktiknya masyarakat mempercayai bahwa pusaka Gong Kyai Pradah mempunyai
kekuatan ghaib yang mampu memberikan keamanan bagi desa mereka dan mapu
memberikan sanksi kepada mereka apabila ritual siraman tidak dilaksanakan. Hal ini
merupakan ciri khas dari tipe peradilan Kadi
dimana sanksinya berasal dari kekuatan ghaib. Jadi, meskipun ritual ini berasal
dari tokoh yang bersifat kharismatik, tetapi dalam praktiknya jelas terlihat
bahwa hukum yang bersifat primitif lebih dominan mempengaruhi masyarakat setempat.
Dari
kedua contoh kasus di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun masyarakat
dan hukum selalu berkembang linear dari yang bersifat sederhana (irrasional) ke arah yang bersifat lebih modern (rasional),
tetapi hukum yang bersifat primitif tidak akan hilang tergerus oleh
perkembangan zaman dan tetap berlaku di sebagian masyarakat modern.
Sumber Bacaan
Anwar,
Yesmil dan Adang. 2013. Pengantar
Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Grasindo.
Rahardjo,
Satjipto. 2012. Ilmu Hukum. Bandung:
PT Citra Aditya Bakti.
Soekanto,
Soerjono. 2007. Pokok-Pokok Sosiologi
Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar