cari

Selasa, 21 Maret 2017

Sistem Peradilan Menurut Teori Sosial tentang Hukum dari Max Weber


Max Weber (1864-1920) adalah seorang tokoh dari Jerman, pendidikan akademisnya adalah di bidang hukum. Ia belajar hukum pada saat Aliran Sejarah sedang menanjak. Salah satu karyanya yang paling lengkap dan mendalam adalah Wirtschaft and Gezellschaft pada tahun 1922. Weber memandang hukum sebagai suatu kumpulan norma-norma atau aturan  yang dikelompokan dan dikombinasikan dengan konsensus, menggunakan alat kekerasan sebagai daya paksaan. Ia menganggap, hukum adalah kesepakatan yang valid dalam suatu kelompok tertentu (Consensually valid in a group) dan merupakan jaminan (guaranteed) melalui suatu paksaan (Coercive apparatus). Menurut Weber, dua hal tersebut adalah unsur mutlak yang harus ada dalam hukum.
Max Weber disebut sebagai bapak Sosiologi Hukum modern, yang menggarap hukum secara komprehensif dengan metode sosiologis. Salah satu teori sosial tentang hukum yang dikemukakannya adalah mengenai konsep hegemoni yang menyatakan bahwa “setiap masyarakat berkembang linear dari sederhana menuju ke yang lebih modern”. Kemudian apa hubungannya perkembangan tersebut dengan hukum. Hubungannya dengan hukum adalah “bahwa hukum di masyarakat juga berkembang linear dari hukum yang bersifat irrasional ke hukum yang bersifat rasional”. Maksud dari berkembang linear disini adalah berkembang searah tetapi menunjukan peningkatan. Menurut Max Weber, perkembangan hukum materiil dan hukum acara mengikuti tahap-tahap perkembangan tertentu, mulai dari bentuk sederhana yang didasarkan pada kharisma sampai pada tahap termaju dimana hukum disusun secara sistematis serta dijalankan oleh orang yang telah mendapatkan pendidikan dan latihan di bidang hukum.
Pada masyarakat primitif hukumnya masih bersifat irrasional karena sumbernya berasal dari makhluk ghaib. Mereka meyakini bahwa makhluk ghaib (roh halus) mampu mengatur dan memberikan sanksi kepada mereka. Dari masyarakat primitif berkembang menjadi lebih modern dengan digunakannya akal pikir manusia untuk memudahkan aktivitas mereka. Hukum tidak lagi bersumber dari makhluk ghaib tetapi bersumber dari tokoh-tokoh kharismatik, yaitu orang yang dianggap mempunyai pengaruh yang besar kepada orang lain untuk mengikutinya, misalnya ketua adat, sesepuh desa, dan para kyai. Hukum tidak lagi dikaitkan dengan hal-hal yang ghaib. Kemudian masyarakat berkembang lagi menjadi masyarakat modern (kompleks). Pada masyarakat ini hukumnya bersifat rasional, yaitu dalam bentuk undang-undang tertulis. Hukum dibuat dan ditegakkan oleh lembaga yang berwenang.
Dari masyarakat primitif sampai masyarakat modern masing-masing mempunyai sistem peradilan yang berbeda-beda antara satu dengan yang lainnya. Menurut Max Weber ada tiga tipe dalam penyelenggaraan peradilan, yaitu sebagai berikut.
1)   Peradilan Kadi
Peradilan ini dapat dijumpai pada masyarakat primitif, masyarakat mengadili suatu perkara dengan bersemedi atau mencari wangsit (petunjuk) dari makhluk ghaib. Keputusan peradilan ini dipercayakan sepenuhnya kepada sang pengadil, tanpa diperlukan adanya kontrol oleh sistem lainnya. Peradilan ini dianggap sebagai peradilan yang paling tidak rasional. 
2)   Peradilan Empiris 
Peradilan ini dapat ditemui pada masyarakat yang hukumnya bersumber dari tokoh-tokoh yang dianggap kharismatik. Tipe peradilan ini lebih rasional, meskipun belum sepenuhnya. Sanksi dari peradilan ini bersifat mengulang sanksi yang sudah diterapkan terdahulu untuk diterapkan lagi dalam perkara yang tengah dihadapi. 
3)   Peradilan yang Rasional
Peradilan yang rasional adalah peradilan yang bekerja atas asas-asas yang telah dirumuskan dalam sebuah birokrasi, yang hasilnya memiliki daya yang cukup universal dalam penerapannya. Peradilan ini dapat dijumpai di masyarakat yang sudah modern seperti sekarang ini dimana hukum dibuat dan ditegakkan oleh lembaga yang berwenang.
Berikut ini contoh penerapan dari tipe-tipe peradilan menurut Max Weber dalam kehidupan di masyarakat.
1)        Di sebuah desa A terdapat dua bersaudara perempuan sebut saja namanya B dan C. Keduanya kemudian menikah dengan pasangannya masing-masing. Rumah antara si B dan C dengan suami mereka mengarah ke arah Utara Barat. Bagi masyarakat desa A mereka meyakini bahwa jika menikah dengan pasangan yang arah rumahnya mengarah ke Utara Barat berarti itu sama saja menyeberangi lautan darah. Mereka menyatakan jika hal itu dilakukan akan mengakibatkan salah satu di antara pasangan tersebut akan mengalami sakit-sakitan, sulit mencari rezeki, keluarganya tidak bahagia, dan bahkan bisa meninggal. Hal ini pula yang dialami oleh keluarga si B dan C. Si B harus bercerai dengan suaminya karena merasa keluarganya tidak nyaman lagi dan juga orang tuanya tidak merestui pernikahan tersebut. Si C juga mengalami hal yang sama, dia sering cek-cok dengan suaminya dan sekarang dia mengalami sakit yang tidak kunjung sembuh. Hal itu memang sulit dipercaya karena tidak bisa dibuktikan secara ilmiah. Tetapi masyarakat tetap meyakini jika hal tersebut dilakukan akan ada yang memberi sanksi berupa suatu musibah. Hal tersebut merupakan keyakinan yang turun-temurun dari nenek moyang warga setempat.
Dari kasus tersebut dapat dipahami bahwa masyarakat meyakini bahwa pernikahan dengan pasangan yang arah rumahnya ke Utara Barat akan menimbulkan musibah. Mereka meyakini ada kekuatan (sesuatu yang ghaib) yang mampu memberi sanksi kepada mereka, meskipun darimana dan siapa yang memberi sanksi tersebut tidak jelas asalnya. Hal ini menunjukan bahwa di dalam masyarakat desa A masih berlaku hukum yang bersifat primitif, artinya hukumnya masih bersifat irrasional karena sumbernya berasal dari makhluk ghaib. Mereka meyakini bahwa makhluk ghaib mampu mengatur dan memberikan sanksi kepada mereka. Jadi, berdasarkan penjelasan tersebut sistem peradilan yang digunakan pada masyarakat desa A merupakan peradilan Kadi.
2)     Di Kelurahan Kalipang, Kecamatan Sutojayan, Lodoyo Kabupaten Blitar, ada sebuah ritual kebudayaan yang menyita banyak perhatian warga masyarakat, yaitu ritual pemandian pusaka Gong Kyai Pradah. Ritual ini sudah sangat terkenal di daerah Kabupaten Blitar. Pada setiap ritual ini berlangsung para pejabat daerah Kabupaten Blitar turut hadir, seperti bupati, wakil bupati, dan camat setempat. Ribuan warga juga sangat antusias menyaksikan ritual tersebut tidak hanya dari Blitar tetapi juga dari daerah lain. Mereka meyakini bahwa air bekas siraman Gong Kyai Pradah dapat menyembuhkan berbagai penyakit dan membuat awet muda. Gong Kyai Pradah sendiri merupakan suatu pusaka berbentuk gong yang merupakan peninggalan dari Pangeran Prabu, yaitu tokoh yang pertama kali mbabat tanah Lodoyo. Beliau berpesan agar di setiap tanggal 12 Maulud dan 1 Syawal pusaka tersebut dimandikan. Ritual memandikan pusaka Gong Kyai Pradah ini sudah berlangsung selama ratusan tahun dan menjadi keyakinan masyarakat setempat untuk menjaga seluruh desa dari marabahaya. Apabila ritual siraman ini tidak dilaksanakan maka warga desa akan terjangkit penyakit yang aneh dan juga akan ada sesuatu yang menyerang hasil bumi masyarakat setempat, begitulah kepercayaan para sesepuh desa.
Dari kasus di atas dapat dipahami bahwa ritual siraman Gong Kyai Pradah sudah berlangsung sangat lama dan dilaksanakan secara turun-temurun sampai sekarang. Ritual siraman tersebut berawal dari pesan Pangeran Prabu. Masyarakat sangat mempercayai akan manfaat dan akibat yang diterima jika tidak melaksanakan ritual siraman Gong Kyai Pradah. Menurut penulis tradisi ini memang berasal dari tokoh yang dianggap berpengaruh (kharismatik), yaitu Pangeran Prabu. Tetapi dalam praktiknya masyarakat mempercayai bahwa pusaka Gong Kyai Pradah mempunyai kekuatan ghaib yang mampu memberikan keamanan bagi desa mereka dan mapu memberikan sanksi kepada mereka apabila ritual siraman tidak dilaksanakan. Hal ini merupakan ciri khas dari tipe peradilan Kadi dimana sanksinya berasal dari kekuatan ghaib. Jadi, meskipun ritual ini berasal dari tokoh yang bersifat kharismatik, tetapi dalam praktiknya jelas terlihat bahwa hukum yang bersifat primitif lebih dominan mempengaruhi masyarakat setempat.
Dari kedua contoh kasus di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa meskipun masyarakat dan hukum selalu berkembang linear dari yang bersifat sederhana (irrasional)  ke arah yang bersifat lebih modern (rasional), tetapi hukum yang bersifat primitif tidak akan hilang tergerus oleh perkembangan zaman dan tetap berlaku di sebagian masyarakat modern.

Sumber Bacaan
Anwar, Yesmil dan Adang. 2013. Pengantar Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Grasindo.
Rahardjo, Satjipto. 2012. Ilmu Hukum. Bandung: PT Citra Aditya Bakti.
Soekanto, Soerjono. 2007. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar