cari

Selasa, 07 Maret 2017

Analisis Masalah Sosial Menggunakan Teori Emile Durkheim

Emile Durkheim dari Perancis adalah salah seorang tokoh penting yang mengembangkan sosiologi dengan ajaran-ajaran yang klasik. Di dalam teorinya tentang masyarakat, Durkheim menaruh perhatian besar terhadap kaidah-kaidah hukum yang dihubungkan dengan jenis-jenis  solidaritas yang dijumpai di masyarakat. Hukum dirumuskannya sebagai suatu kaidah yang bersanksi. Berat ringannya sanksi senantiasa tergantung dari masyarakat tentang baik buruknya suatu tindakan dan peranan sanksi -sanksi tersebut dalam masyarakat.
Menurut teori sosial tentang hukum yang dikemukakan oleh Emile Durkheim yang menyatakan bahwa “Hukum merupakan cerminan solidaritas sosial dari masyarakat”. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia solidaritas berarti sifat atau perasaan senasib, perasaan setia kawan. Menurut Emile Durkheim, berdasarkan kerekatan sosial, solidaritas dapat dibagi menjadi dua, yaitu solidaritas mekanis (mechanical solidarity) dan solidaritas organis (organic solidarity). Berikut penjelasan dari masing-masing bentuk solidaritas tersebut.
1)                 Solidaritas Mekanis (Mechanical Solidarity)
Soildaritas mekanis dapat dijumpai pada masyarakat paguyuban, yaitu masyarakat yang hubungan antara satu dengan yang lainnya sangat akrab, masyarakat yang relatif sederhana dan homogen (adanya kesamaan latar belakang dalam hal pekerjaan), biasanya sering dijumpai di masyarakat pedesaan. Solidaritas mekanis dapat terjalin dengan kuat apabila cita-cita bersama dari masyarakat yang bersangkutan secara kolektif lebih kuat serta lebih intensif daripada cita-cita masing-masing warganya secara individual. Hal ini disebabkan karena keutuhan masyarakat tersebut dijamin oleh hubungan antar manusia yang erat serta adanya tujuan bersama. Pada masyarakat dimana solidaritas mekanis berkembang, sanksi hukumnya bersifat represif, yaitu suatu sanksi yang bernuansa kekerasan, misalnya berupa celaan dari masyarakat, suatu penghinaan terhadap kehormatan, baik dalam bentuk hukuman mati atau hukuman badan, penghapusan kemerdekaan, dan pencelaan di muka umum. Hal ini disebabkan karena pelanggaran dan kejahatan dianggap sebagai tindakan yang mencemarkan keyakinan bersama. Dalam hal ini masyarakat bertindak bersama-sama, karena masing-masing merasa terancam oleh penyimpangan atau pelanggaran terhadap kaidah-kaidah pokok masyarakat. Reaksi masyarakat terhadap penyimpangan atau pelanggaran tersebut dapat memperkuat rasa solidaritas dalam mayarakat.
2)                 Solidaritas Organis (Organic Solidarity)
Solidaritas organis dapat dijumpai pada masyarakat patembayan, yaitu masyarakat yang hubungan antara satu dengan yang lainnya renggang atau individual, masyarakat yang bersifat heterogen (berbeda latar belakang pekerjaannya), masyarakat yang sifatnya lebih modern dan lebih kompleks, yaitu masyarakat yang ditandai oleh pembagian kerja yang kompleks, biasanya sering dijumpai di masyarakat perkotaan. Pada masyarakat dimana solidaritas organis diterapkan, sanksi hukumannya tidak semata-mata mendatangkan penderitaan bagi mereka yang melanggarnya, tetapi sanksinya lebih bersifat restitutif, yaitu sanksi yang sifatnya memulihkan keadaan. Tujuan utama kaidah-kaidah hukum ini adalah untuk mengembalikan pada situasi seperti semula, sebelum terjadi kegoncangan sebagai akibat dilanggarnya suatu kaidah hukum dalam masyarakat, hubungan-hubungan yang terganggu dipulihkan ke dalam keadaannya yang normal.
Contoh-contoh masalah sosial yang terjadi di masyarakat, yaitu sebagai berikut.
1)                 Di suatu desa tepatnya di desa Kedung Bunder, Kabupaten Blitar, dalam rangka menyambut hari Kemerdekaan RI ke 71 pada tahun 2016. Ketua RT menyampaikan agar seluruh warga desa turut serta dalam kegiatan gotong royong untuk membersihkan dan menghias desa dalam rangka memeriahkan HUT RI ke 71. Semua warga desa sepakat dengan kegiatan itu karena dinilai positif. Mendengar informasi tersebut warga desa berbondong-bondong setiap malam untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut. Para pemuda desa setiap malam dari mulai selepas Isya’ sampai selesai, bergotong royong memasang lampu hias di pinggir jalan, mengecat tempat-tempat umum, membuat bak sampah, untuk ibu-ibu menyiapkan makanan bagi warga yang bergotong royong, semua dilakukan untuk membuat lingkungan desa menjadi bersih dan indah. Mereka semua kompak dalam mengikuti kegiatan tersebut. Tetapi, ada satu pemuda desa sebut saja namanya si A, yang tidak pernah megikuti kegiatan tersebut. Warga desa yang mengetahui hal tersebut merasa tidak nyaman dan jengkel karena kesepakatan yang telah disetujui bersama tidak dijalankan oleh si A. Warga desa kemudian mencaci maki dan mengolok-ngolok si A agar dia merasa malu.
Dari kasus di atas dapat dipahami bahwa tindakan si A jelas melanggar norma yang telah disepakati oleh warga desa. Kemudian si A mendapatkan hukuman sosial berupa cacian dari warga, ini menunjukan bahwa di masyarakat desa Kedung Bunder sanksi yang bersifat represif benar-benar diterapkan, yaitu dalam bentuk kekerasan secara verbal. Masyarakat melakukan sanksi tersebut bukan tanpa alasan karena masyarakat merasa tidak nyaman, hal ini disebabkan karena pelanggaran dianggap sebagai tindakan yang mencemarkan keyakinan bersama dan untuk mencegah agar si A tidak mengulanginya lagi dan warga lain tidak melakukan hal yang sama.
2)                 Di sebuah desa di Kabupaten Blitar, sebut saja desa B, ada sebuah keluarga yang sederhana yang ingin cepat kaya. Mereka sudah berusaha keras untuk mewujudkannya, tetapi karena persaingan usaha yang semakin ketat, akhirnya mereka menggunakan cara-cara yang bisa dibilang irrasional. Percaya atau tidak percaya yang pasti ini sudah terjadi secara nyata. Ada warga yang mengeluhkan kehilangan uangnya. Tidak hanya satu warga tetapi beberapa warga mengeluhkan hal yang sama. Informasi tersebut cepat menyebar dari mulut ke mulut dan menjadi pembicaraan masyarakat setempat. Karena dinilai sudah membuat resah masyarakat akhirnya sekelompok santri dari pondok pesantren di desa itu setiap malam melakukan ronda keliling kampung didampingi guru spiritual mereka. Setelah beberapa hari melakukan ronda, hasilnya sangat mengejutkan. Guru spiritual dari santri pondok tersebut meyakini bahwa keluarga tersebut memelihara “babi ngepet”. Warga masyarakat pun juga merasa demikian. Semua warga desa mulai menjauh dan bersifat acuh terhadap keluarga tersebut. Keluaga tersebut juga merasa tidak nyaman dengan kondisi yang ada karena warga tidak menganggapnya lagi. Akhirnya keluarga tersebut mengakui kesalahannya bahwa dia benar-benar memelihara “babi ngepet”. Kemudian mereka mengadakan acara selametan bersama dan meminta maaf kepada semua warga dan bersumpah untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi.
Dalam kasus tersebut masyarakat bertindak bersama-sama dalam menghadapi sebuah masalah karena masing-masing merasa terancam oleh penyimpangan atau pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat yang dilakukan oleh si keluarga tadi. Hal ini mencerminkan bahwa rasa solidaritas warga desa B tinggi. Sanksi yang diberikan masyarakat juga tidak hanya bersifat represif dalam bentuk pembiaran (diacuhkan) dan menjadi bahan pembicaraan banyak orang tetapi juga bersifat restitutif, artinya masyarakat tidak menghakimi sendiri pelaku tetapi lebih memulihkan hubungan-hubungan sosial yang terganggu ke dalam keadaan normal yang tercermin dari sikap warga yang bersedia menghadiri acara selametan yang diselenggarakan oleh si keluarga tadi.
Berdasarkan kedua contoh kasus di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa masyarakat menghadapi masalah sosial secara kolektif. Sanksi sosial yang bersifat represif benar-benar diterapkan di masyarakat dalam bentuk verbal berupa celaan. Sanksi ini bertujuan sebagai upaya pencegahan (preventif) agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi dan mencegah agar warga lain tidak melakukan pelanggaran yang sama. Tidak hanya itu, pada kasus kedua masyarakat juga menerapkan sanksi yang bersifat restitutif dengan tujuan hubungan-hubungan sosial yang mengalami ketegangan akibat terjadinya pelanggaran kaidah hukum bisa diperbaiki seperti sedia kala. Hal ini berarti di dalam masyarakat pedesaan tidak selamanya sanksi represif diterapkan secara mutlak, tetapi juga terbuka kemungkinan untuk diterapkannya sanksi yang bersifat restitutif. Jadi, solidaritas mekanis sangat kental terasa dalam kedua kasus di atas karena masalah sosial yang dihadapi masyarakat di satu sisi menjadi ancaman bagi mereka, tetapi di sisi lain dapat memperkuat solidaritas kelompok dan ini menjadi ciri yang khas dari solidaritas mekanis.
Sumber Bacaan
Johnson, Alvin S. 1994. Sosiologi Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Soekanto, Soerjono. 2014. Pokok-Pokok Sosiologi Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar