Emile
Durkheim dari Perancis adalah salah seorang tokoh penting yang mengembangkan
sosiologi dengan ajaran-ajaran yang klasik. Di dalam teorinya tentang
masyarakat, Durkheim menaruh perhatian besar terhadap kaidah-kaidah hukum yang
dihubungkan dengan jenis-jenis
solidaritas yang dijumpai di masyarakat. Hukum dirumuskannya sebagai
suatu kaidah yang bersanksi. Berat ringannya sanksi senantiasa tergantung dari
masyarakat tentang baik buruknya suatu tindakan dan peranan sanksi -sanksi
tersebut dalam masyarakat.
Menurut teori sosial tentang hukum yang
dikemukakan oleh Emile Durkheim yang menyatakan bahwa “Hukum merupakan cerminan solidaritas sosial dari masyarakat”.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia solidaritas berarti sifat atau perasaan
senasib, perasaan setia kawan. Menurut Emile Durkheim, berdasarkan kerekatan
sosial, solidaritas dapat dibagi menjadi dua, yaitu solidaritas mekanis (mechanical solidarity) dan solidaritas
organis (organic solidarity). Berikut
penjelasan dari masing-masing bentuk solidaritas tersebut.
1)
Solidaritas Mekanis (Mechanical Solidarity)
Soildaritas mekanis dapat dijumpai pada
masyarakat paguyuban, yaitu masyarakat yang hubungan antara satu dengan yang
lainnya sangat akrab, masyarakat yang relatif sederhana dan homogen (adanya
kesamaan latar belakang dalam hal pekerjaan), biasanya sering dijumpai di
masyarakat pedesaan. Solidaritas mekanis dapat terjalin dengan kuat apabila
cita-cita bersama dari masyarakat yang bersangkutan secara kolektif lebih kuat
serta lebih intensif daripada cita-cita masing-masing warganya secara
individual. Hal ini disebabkan karena keutuhan masyarakat tersebut dijamin oleh
hubungan antar manusia yang erat serta adanya tujuan bersama. Pada masyarakat
dimana solidaritas mekanis berkembang, sanksi hukumnya bersifat represif, yaitu
suatu sanksi yang bernuansa kekerasan, misalnya berupa celaan dari masyarakat,
suatu penghinaan terhadap kehormatan, baik dalam bentuk hukuman mati atau
hukuman badan, penghapusan kemerdekaan, dan pencelaan di muka umum. Hal ini
disebabkan karena pelanggaran dan kejahatan dianggap sebagai tindakan yang
mencemarkan keyakinan bersama. Dalam hal ini masyarakat bertindak bersama-sama,
karena masing-masing merasa terancam oleh penyimpangan atau pelanggaran terhadap
kaidah-kaidah pokok masyarakat. Reaksi masyarakat terhadap penyimpangan atau
pelanggaran tersebut dapat memperkuat rasa solidaritas dalam mayarakat.
2)
Solidaritas Organis (Organic Solidarity)
Solidaritas organis dapat dijumpai pada
masyarakat patembayan, yaitu masyarakat yang hubungan antara satu dengan yang
lainnya renggang atau individual, masyarakat yang bersifat heterogen (berbeda
latar belakang pekerjaannya), masyarakat yang sifatnya lebih modern dan lebih
kompleks, yaitu masyarakat yang ditandai oleh pembagian kerja yang kompleks,
biasanya sering dijumpai di masyarakat perkotaan. Pada masyarakat dimana
solidaritas organis diterapkan, sanksi hukumannya tidak semata-mata
mendatangkan penderitaan bagi mereka yang melanggarnya, tetapi sanksinya lebih
bersifat restitutif, yaitu sanksi yang sifatnya memulihkan keadaan. Tujuan
utama kaidah-kaidah hukum ini adalah untuk mengembalikan pada situasi seperti
semula, sebelum terjadi kegoncangan sebagai akibat dilanggarnya suatu kaidah
hukum dalam masyarakat, hubungan-hubungan yang terganggu dipulihkan ke dalam
keadaannya yang normal.
Contoh-contoh masalah sosial yang
terjadi di masyarakat, yaitu sebagai berikut.
1)
Di suatu desa tepatnya di desa Kedung
Bunder, Kabupaten Blitar, dalam rangka menyambut hari Kemerdekaan RI ke 71 pada
tahun 2016. Ketua RT menyampaikan agar seluruh warga desa turut serta dalam
kegiatan gotong royong untuk membersihkan dan menghias desa dalam rangka
memeriahkan HUT RI ke 71. Semua warga desa sepakat dengan kegiatan itu karena
dinilai positif. Mendengar informasi tersebut warga desa berbondong-bondong
setiap malam untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut. Para pemuda desa setiap
malam dari mulai selepas Isya’ sampai selesai, bergotong royong memasang lampu
hias di pinggir jalan, mengecat tempat-tempat umum, membuat bak sampah, untuk
ibu-ibu menyiapkan makanan bagi warga yang bergotong royong, semua dilakukan
untuk membuat lingkungan desa menjadi bersih dan indah. Mereka semua kompak
dalam mengikuti kegiatan tersebut. Tetapi, ada satu pemuda desa sebut saja
namanya si A, yang tidak pernah megikuti kegiatan tersebut. Warga desa yang
mengetahui hal tersebut merasa tidak nyaman dan jengkel karena kesepakatan yang
telah disetujui bersama tidak dijalankan oleh si A. Warga desa kemudian mencaci
maki dan mengolok-ngolok si A agar dia merasa malu.
Dari kasus di atas dapat dipahami bahwa tindakan si
A jelas melanggar norma yang telah disepakati oleh warga desa. Kemudian si A
mendapatkan hukuman sosial berupa cacian dari warga, ini menunjukan bahwa di
masyarakat desa Kedung Bunder sanksi yang bersifat represif benar-benar
diterapkan, yaitu dalam bentuk kekerasan secara verbal. Masyarakat melakukan
sanksi tersebut bukan tanpa alasan karena masyarakat merasa tidak nyaman, hal
ini disebabkan karena pelanggaran dianggap sebagai tindakan yang mencemarkan
keyakinan bersama dan untuk mencegah agar si A tidak mengulanginya lagi dan
warga lain tidak melakukan hal yang sama.
2)
Di sebuah desa di Kabupaten Blitar,
sebut saja desa B, ada sebuah keluarga yang sederhana yang ingin cepat kaya.
Mereka sudah berusaha keras untuk mewujudkannya, tetapi karena persaingan usaha
yang semakin ketat, akhirnya mereka menggunakan cara-cara yang bisa dibilang irrasional. Percaya atau tidak percaya
yang pasti ini sudah terjadi secara nyata. Ada warga yang mengeluhkan
kehilangan uangnya. Tidak hanya satu warga tetapi beberapa warga mengeluhkan
hal yang sama. Informasi tersebut cepat menyebar dari mulut ke mulut dan
menjadi pembicaraan masyarakat setempat. Karena dinilai sudah membuat resah
masyarakat akhirnya sekelompok santri dari pondok pesantren di desa itu setiap
malam melakukan ronda keliling kampung didampingi guru spiritual mereka.
Setelah beberapa hari melakukan ronda, hasilnya sangat mengejutkan. Guru
spiritual dari santri pondok tersebut meyakini bahwa keluarga tersebut
memelihara “babi ngepet”. Warga
masyarakat pun juga merasa demikian. Semua warga desa mulai menjauh dan
bersifat acuh terhadap keluarga tersebut. Keluaga tersebut juga merasa tidak
nyaman dengan kondisi yang ada karena warga tidak menganggapnya lagi. Akhirnya
keluarga tersebut mengakui kesalahannya bahwa dia benar-benar memelihara “babi ngepet”. Kemudian mereka
mengadakan acara selametan bersama dan meminta maaf kepada semua warga dan
bersumpah untuk tidak mengulangi perbuatan itu lagi.
Dalam kasus tersebut masyarakat bertindak
bersama-sama dalam menghadapi sebuah masalah karena masing-masing merasa
terancam oleh penyimpangan atau pelanggaran terhadap norma-norma masyarakat
yang dilakukan oleh si keluarga tadi. Hal ini mencerminkan bahwa rasa
solidaritas warga desa B tinggi. Sanksi yang diberikan masyarakat juga tidak
hanya bersifat represif dalam bentuk pembiaran (diacuhkan) dan menjadi bahan
pembicaraan banyak orang tetapi juga bersifat restitutif, artinya masyarakat
tidak menghakimi sendiri pelaku tetapi lebih memulihkan hubungan-hubungan
sosial yang terganggu ke dalam keadaan normal yang tercermin dari sikap warga
yang bersedia menghadiri acara selametan yang diselenggarakan oleh si keluarga
tadi.
Berdasarkan kedua contoh kasus di atas, dapat
ditarik kesimpulan bahwa masyarakat menghadapi masalah sosial secara kolektif.
Sanksi sosial yang bersifat represif benar-benar diterapkan di masyarakat dalam
bentuk verbal berupa celaan. Sanksi ini bertujuan sebagai upaya pencegahan
(preventif) agar pelaku tidak mengulangi perbuatannya lagi dan mencegah agar
warga lain tidak melakukan pelanggaran yang sama. Tidak hanya itu, pada kasus
kedua masyarakat juga menerapkan sanksi yang bersifat restitutif dengan tujuan
hubungan-hubungan sosial yang mengalami ketegangan akibat terjadinya pelanggaran
kaidah hukum bisa diperbaiki seperti sedia kala. Hal ini berarti di dalam
masyarakat pedesaan tidak selamanya sanksi represif diterapkan secara mutlak,
tetapi juga terbuka kemungkinan untuk diterapkannya sanksi yang bersifat
restitutif. Jadi, solidaritas mekanis sangat kental terasa dalam kedua kasus di
atas karena masalah sosial yang dihadapi masyarakat di satu sisi menjadi
ancaman bagi mereka, tetapi di sisi lain dapat memperkuat solidaritas kelompok
dan ini menjadi ciri yang khas dari solidaritas mekanis.
Sumber Bacaan
Johnson,
Alvin S. 1994. Sosiologi Hukum.
Jakarta: Rineka Cipta.
Soekanto,
Soerjono. 2014. Pokok-Pokok Sosiologi
Hukum. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar